Malam ini jangkrik riang berbunyi di balik rimbunnya
semak-semak. Bintang berpendar dan cahaya dari bulan bulat penuh membuat
beberapa bayangan pepohonan terlihat romantis, misterius, dan menyeringai.
Namun, cahayanya enggan untuk mencapai lantai hutan. Hutan Lembu Ireng.
Karenanya, Ronggo yang sendirian memasuki gelap hutan, membawa obor untuk
menemaninya melewati jalan setapak di tengah alas. Pemuda berperawakan agak kurus
itu baru saja pulang dari Kampung Banyu Abang dibalik gunung.
Sebenarnya
dia agak ragu untuk pulang sendiri malam-malam begini dengan melewati hutan.
Tadinya dia ingin menginap saja di rumah Pak Mikun usai mengantarkan
singkong-singkong pesanannya. Tapi dia merasa tidak enak pada Pak Mikun, dan
dia berpikir nanti ibunya akan khawatir kalau tidak cepat pulang. Apa daya, ini
memang salahnya. Tadi dia berangkat terlalu sore untuk mengantar singkong,
sebab dia memotong beberapa bambu dahulu untuk menyelesaikan kandang ayamnya.
Lima telur ayamnya menetas beberapa hari lalu. Jadi dia membuatkan tempat lagi
untuk ayamnya.
Di
tengah rimbunnya hutan yang gelap, pikirannya campur aduk. Entah apa atau siapa
yang sekarang mungkin sedang mengamatinya atau yang mungkin ditemuinya nanti.
Bisa saja di balik semak di depannya, muncul macan yang sebulan lalu sempat
terlihat oleh Pak Parwoto saat sedang mengambil kayu bakar. Bisa saja dia
bertemu sosok sapi hitam yang kabarnya muncul untuk membawa pertanda bencana.
Bisa aja memedi di pohon beringin
selanjutnya memperlihatkan diri, mengayun-ayun menggodanya. Tiap langkahnya menimbulkan bebunyian yang
dipikirnya mungkin akan membangunkan beberapa dari penghuni hutan tersebut.
Saat pikirannya sedang penuh dengan
ketakutan-ketakutan, di ujung penglihatan matanya, seberkas cahaya muncul dari
balik gunung di seberang kanannya. Seketika Ronggo menoleh terkejut. Ternyata
cahaya yang dilihatnya benar-benar nyata. Cahaya itu melayang jauh di atas
pohon-pohon rimbun. Ronggo terpaku. Dia merasa ingin lari secepatnya, tetapi
dia terlalu penasaran dengan apa yang dilihatnya. Ternyata itu benda bulat
pipih, mengeluarkan beberapa cahaya sekuning matahari. Benda itu terlihat
berputar dan mulai bergerak menuju ke arah Ronggo berdiri. Terkejut, Ronggo
mulai panik. Dia berusaha berpikir cepat untuk memutuskan apa yang akan
dilakukannya. Benda itu mulai terbang melewati lembah. Kemudian dia melihat
obor yang dibawanya. Mungkin itu yang membuat benda terbang itu mengetahui
keberadaannya. Dia dengan segera menjatuhkan obor itu dan mematikan apinya dengan
tanah. Tapi sudah terlambat. Benda itu
sudah berada di hadapannya dengan jarak selemparan batu, melayang di atas
jurang.
Ronggo gemetar ketakutan. Dia
perlahan mundur. Tetapi, tanaman rambat membuatnya terjatuh. Sekarang dia hanya
bisa terpaku menatap benda itu. Dari dekat, benda itu terlihat berwarna perak,
seperti cawan di meja rumah Bupati Kulonan. Sekarang benda itu bergerak, dia
bisa mendengar suara kecil berbunyi seperti memasak air di ketel. Sekarang
benda itu tepat berada di atas kepala Ronggo. Giginya gemerutuk. Tatapannya
penuh tanya dan takut.
Sebuah pintu terbuka dari benda
itu. Di dalamnya ternyata cahayanya lebih terang. Tangga keluar dengan
sendirinya dari pintu itu. Ronggo yang masih terduduk, memundurkan badannya
sedikit, memberi tempat pada tangga yang turun tepat di depannya. Dia kemudian
mendongak ke arah pintu yang terbuka. Yang terlihat hanya cahaya putih terang
dari dalam.
Mata Ronggo masih terbelalak takjub. Perlahan
dia berdiri. Rasa penasarannya semakin menjadi seiring nafasnya yang memberat.
Tanpa sadar dia sudah melangkah di titian kedua tangga. ‘Kapan aku mulai
melangkah?’ pikirnya. Berusaha memberanikan diri, dia naik lagi ke titian
selanjutnya. Tiap langkahnya dipenuhi dengan tanya.
Sesampainya di ambang pintu,
Ronggo melihat di dalamnya ada tiga sosok. Berkepala panjang. Tetapi wajahnya
seperti manusia pada umumnya. Hanya saja lebih bersih dari pemuda kampungnya
yang semuanya biasa ngangon sapi.
Pakaian mereka putih, tebal, tapi tetap dapat bergerak leluasa. Dalam pikirannya
itu mirip baju perang yang terbuat dari kain tebal. Ronggo kemudian menyadari
bahwa dia sebenarnya sedang berada di dalam sebuah kendaraan terbang. Di dalamnya, banyak benda-benda kecil yang
beberapa di antaranya bersinar. Ada juga beberapa kotak yang berisi garis-garis, dan tulisan yang tidak
dimengertinya.
“Mendekatlah!” salah satu sosok
yang di tengah memanggil Ronggo.
Ronggo terlihat ragu. Dirinya
memang pemalu. Terutama dengan orang asing, apalagi yang berkepala panjang.
“Kemari! Jangan ragu!” panggil
sosok tersebut ramah.
“Ba...Baik.” jawab Ronggo seraya
melangkah mendekat.
Setelah beberapa langkah Ronggo
mendekat ke mereka, pintu di belakangnya menutup dengan sendirinya. Dia
menoleh. Sesaat dia sadar, dirinya tidak bisa kemana-mana jika terjadi sesuatu
padanya. Kemudian, dia berbalik kembali menatap ketiga sosok misterius ini
“Salam. Saya Abil.” Ujar sosok
yang di tengah, memperkenalkan diri dengan menjulurkan tangannya.
“Saya...Saya Ronggo.” Ronggo
menyambut tangan itu. Ronggo kemudian sedikit mengerenyitkan dahi. Mungkin dia
merasa sedikit aneh bersentuhan dengan sosok asing tersebut. Jika diperhatikan,
memang tangan makhluk ini tidak berkuku dan sedikit lebih halus dari pada
tangan orang biasanya.
“Kami tahu siapa kamu. Kamu orang
baik. Kami memperhatikan kamu selama ini.“ Kata Abil setelah mereka berjabat
tangan. “Kami datang dari langit. Dari salah satu bintang yang mungkin kamu
lihat setiap malam. Selamat datang di wahana angkasa kami.”
Ronggo keheranan. Apa yang
didengarnya tidak mudah untuk dicerna oleh kepalanya.
“Saya Raki, dia Isaf.” Sosok di
sebelah Abil memperkenalkan diri dan rekannya.
“R...Raki?” Tanya Ronggo.
Raki mengangguk pelan dibarengi
senyum. “Mari, kami di tunjukkan sesuatu!” Ajaknya.
Mereka mengajak Ronggo
mengelilingi wahana mereka. Ronggo ditunjukkan sebuah benda berbentuk kotak.
Isaf kemudian menekan sebuah benda kecil yang ada di bawah kotak itu. Dengan
ajaib, di dalam kotak itu langsung muncul gambar-gambar bergerak, bahkan
bersuara! Sekejap Ronggo menarik kepalanya, terkaget. Dalam kotak tersebut
terlihat gambar bintang-bintang dan beberapa benda besar bulat yang melayang di
langit gelap. Sesaat kemudian gambarnya berganti, membuat Ronggo seperti
terbang di atas lautan, hutan dan pegunungan hijau. Lalu, gambar berubah lagi
menjadi hewan-hewan di berbagai lingkungan: hutan, padang rumput, hamparan
pasir, dan bahkan air beku. Beberapa hewan belum pernah dilihat Ronggo. Dia
tersenyum saat muncul gambar hewan yang lompat-lompat sambil membawa anaknya di
perut, sebelum akhirnya terkejut saat gambarnya berganti menjadi makhluk
seperti manusia raksasa berbulu yang terlihat makan buah di pinggir padang
rumput. Setelah beberapa gambar lainnya, muncul gambar rumah Ronggo yang
diambil dari atas. Bahkan, terlihat Ronggo yang sedang mengikat
singkong-singkong. “Loh....loh, iku
aku! Iku aku!” Seru Ronggo terkejut.
Berbagai macam gambar selanjutnya muncul dari kotak tersebut, ada juga berbagai
gambar manusia dalam segala kondisi, hidup, mati, terbakar, cantik, kurus,
gemuk, dan sebagainya.
Tak lama, Isaf menekan kembali
benda kecil di bawah kotak. Sekejap, gambar-gambar di kotak menghilang, hanya
menyisakan warna hitam.
“Itu adalah duniamu, semestamu.” Ujar
Isaf sambil memandang Ronggo.
Abil maju selangkah, meletakkan
tangannya di bahu Ronggo. Ronggo gemetar. Dalam pikirannya, mungkin sekarang
mereka akan melakukan sesuatu pada dirinya.
“Jelajahi semesta!” kata Abil
lembut.
Ronggo terdiam.
Abil melepaskan tangannya dari
bahu Ronggo. Mereka kemudian mengantar Ronggo ke pintu wahana tersebut. Pintu
terbuka. Ronggo pun turun. Ternyata dia sudah berada di dekat kampungnya. Dia
diturunkan tepat di sebelah kebun Pak Sabdo. Setidaknya dia tidak perlu obornya
yang tertinggal di hutan untuk sekadar pulang ke rumah. Setelah, pintu menutup,
wahana tersebut langsung terbang, melesat menjauh nyaris tanpa suara. Ronggo
memandangi hingga wahana itu menjadi cahaya kuning kecil menjauh di cakrawala
malam, tersamarkan bintang-bintang yang tersebar.
“Semoga kita tidak salah orang.” Kata
Abil pada kedua rekannya sambil mengendalikan wahana.
“Seperti katamu tadi, dia orang
baik.” Isaf meyakinkan.
“Ya. Ini akan menjadi proyek yang
panjang.” Ujar Abil
“Tenang, anggaplah seperti
liburan panjang di daerah tropis. Yah, setidaknya selama proyek ini, tidak setiap
hari kita akan bertemu Jenderal Yarrah.” Sambung Raki.
“Hahaha.” Mereka tertawa. Lelucon-lelucon
kecil lainnya menemani mereka menembus malam.
***
“Ibu...Ibu!” Panggil Ronggo
sambil mengetuk pintu rumahnya berulang-ulang kali.
Ibunya yang sudah menunggu Ronggo
pulang sambil menganyam suket, bangun
dari tempat duduknya. “Iyo, iyo.” Kata Ibunya sambil memutar balok
kayu pengunci pintu. “Kamu itu dari mana saja, sih?” Tanya Ibu sedikit kesal. “Wis
wengi ngene, baru pulang.”
“Bu, bu. Aku...aku” Ronggo
menelan ludahnya sejenak.
“Opo? Ngomong sing jelas. Kayak
habis lihat medi wae.” Potong Ibu.
“Aku diajak malaikat!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar